Erupsi.com, MEDAN – Direktur Green Justice Indonesia (GJI) Panut Hadisiswoyo mengkhawatirkan bencana ekologis di Sumatera Utara yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurutnya, bencana yang terjadi tak lepas dari kerusakan kawasan dan menyusutnya tutupan hutan akibat tindak kejahatan lingkungan.
Peringatan ini disampaikan Panut pada diskusi yang digelar GJI bersama Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre di Medan, Kamis (27/3/2025).
“Perubahan yang terjadi karena adanya aktivitas ilegal. Ini adalah tindakan yang merugikan ekosistem. Kami menilai banyaknya bencana ekologis akibat kejahatan lingkungan,” ujar Panut.

Panut menjelaskan pentingnya memahami peran penegakan hukum dalam menangani praktik kejahatan lingkungan. Pelanggaran lingkungan, menurutnya, tidak hanya bisa dilakukan oleh individu atau korporasi.
“Tetapi juga bisa melibatkan negara jika memberikan izin eksploitasi tanpa mempertimbangkan dampak ekologisnya. Ini berkaitan erat dengan pelanggaran hak asasi manusia, hak lingkungan, serta hak satwa,” katanya.
Menurut Panut, terdapat beberapa kategori utama kejahatan lingkungan. Antara lain kejahatan terhadap satwa liar, penggunaan lahan secara ilegal, eksploitasi sumber daya alam serta pencemaran lingkungan.
“Kategori kejahatan ini banyak terjadi di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, di mana deforestasi dan perdagangan ilegal satwa liar terus meningkat,” katanya.
Tutupan Hutan Menyusut
Menurut Panut, luas kawasan hutan di Sumatera Utara mencapai 3,3 juta hektare dengan kategori Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP), areal penggunaan lain (APL) dan lain sebagainya. Namun tutupan hutan menyusut hingga ratusan ribu hektare. Penyusutan area tutupan hutan ini, kata Panut, menyebabkan bencana ekologis.
Berdasarkan data BPBD Sumatera Utara, terjadi 677 kali bencana ekologis sepanjang 2024. Kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana paling dominan dengan 237 kejadian. Kebakaran ini menghanguskan 2.638,265 hektare lahan. Bencana ekologis juga menyebabkan 63 jiwa meninggal dunia, 176 jiwa terluka, 4.878 jiwa mengungsi, dan 297.241 jiwa menderita.
“Bencana ekologis dan kejahatan lingkungan sangat terkait,” ujarnya.
Lebih lanjut Panut mengajak semua pihak untuk saling bergandeng tangan guna menghentikan laju kerusakan kawasan dan tutupan hutan di Sumatera Utara. Menurut Panut, upaya ini tidak akan berhasil tanpa komitmen kuat, termasuk dari pemerintah.
“Hutan adalah harta kita yang harus kita jaga bersama-sama,” ujar Panut mengakhiri.