Cara Masyarakat Adat Cegah Kehancuran Ekosistem Batang Toru

Erupsi.com, MEDAN – Dengan hutan tropis yang terbentang luas, Indonesia memainkan peran vital dalam upaya menekan emisi karbon serta dan perubahan iklim. Kelestarian pabrik oksigen dunia tersebut masih mampu terjaga berkat benteng terakhir mereka; masyarakat adat.

Satu di antara hutan adat ada di kawasan hutan Batang Toru di Sumatera Utara. Tepatnya di sekitar Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara. Masyarakat setempat juga mengenal istilah Harangan Tapanuli atau hutan larangan.

Menurut Kepala Desa Simardangiang Tampan Sitompul, hutan adat nenek moyang mereka mencakup mulai dari daratan rendah hingga pegunungan seluas 120.000 hektare.

Sebagai warisan leluhur, masyarakat adat bertanggung jawab mempertahankan kelestariannya. Termasuk menjaga keanekaragaman hayati sehingga secara tak langsung turut membantu keseimbangan ekosistem.

Selama ini, sebagian hutan adat juga menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat. Yang membuat menarik, mereka mampu mengelola hutan tersebut tanpa sama sekali mengusik apa lagi mengubah perannya sebagai penyanggah ekosistem.

Satu di antara hasil hutan adat masyarakat Desa Simardangiang adalah getah kemenyan alias haminjon. Selain sumber pendapatan, komoditas ini juga telah menjadi bagian dari identitas dan sejarah leluhur mereka.

“Makanya tahun lalu kami adakan pesta parung-parung untuk mengembalikan nilai-nilai adat istiadat yang sejak dahulu terus dipelihara sampai generasi selanjutnya,” ujar Tampan, Rabu (31/5/2023).

masyarakat adat
Petani kemenyan masyakarat adat Desa Simardangiang / Erupsi

Kekayaan hutan di kawasan ekosistem Batang Toru kini masih mampu terlindungi berkat keberadaan hutan-hutan adat seperti Simardangiang. Sebab masyarakat setempat percaya bahwa alam akan membalas kebaikan mereka jika dijaga.

“Kalau sempat hutan ini misalnya diganti jadi sawit, tidak hanya pendapatan masyarakat saja yang rusak, lingkungan desa ini akan berpotensi terjadi longsor,” ujar Tampan.

Nasib Satwa Endemik

Kekhawatiran yang sama juga diutarakan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Simardangiang Tonggo Marbun. Jika hutan Batang Toru rusak, maka kelangsungan hidup satwa-satwa endemik seperti orang utan juga bakal berakhir.

Kawasan hutan Batang Toru terbagi menjadi dua, yaitu Blok Timur dan Blok Barat. Mereka dipisahkan oleh retakan lempeng Sumatera. Hutan ini mempunyai tingkat biodiversitas yang tinggi sekaligus rumah bagi beraneka flora dan fauna. Misalnya orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) dan harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae).

Orang utan
Ilustrasi orang utan / Istimewa – SPTN Wilayah V Bahorok BBTNGL

“Karena dulu orang utan masih banyak yang pindah-pindah di hutan, jadi sering ketemu kalau lagi martombak haminjon,” katanya.

Direktur Eksekutif Green Justice Indonesia Dana Prima Tarigan mengatakan, hutan adat berperan layaknya bank karbon alami. Pepohonan yang hidup di dalamnya menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer dan menyimpannya dalam wujud biomassa.

Dengan mempertahankan hutan adat, jumlah karbon tetap terkendali sehingga membantu menekan dampak CO2 bagi atmosfer. Hutan adat juga berperan mencegah pelepasan emisi hasil industri.

Masyarakat Adat Butuh Perlindungan

Karena manfaatnya, keberadaan masyarakat adat menjadi begitu penting. Mereka mempunyai relasi kuat dengan hutan, baik dalam bentuk spiritual maupun budaya. Gegala bentuk praktik perusakan hutan dianggap haram, sehingga deforestasi otomatis dapat dicegah.

Namun sayang, menurut Dana, kontribusi masyarakat adat acap kali diabaikan. Keberadaannya justru semakin terancam akibat perkembangan dunia industri seperti tambang dan kelapa sawit. Mereka kini juga menghadapi masalah pengakuan negara.

“Memang belum ada perhitungan angka pasti kontribusi masyarakat adat terkait pengurangan emisi karbon dari menjaga hutannya baik di tingkat nasional Indonesia atau terlebih khusus di daerah Sumatera Utara sendiri,” katanya.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan (Walhi) Sumatera Utara Rianda Purba, masyarakat adat adalah subjek yang paling memahami pengelolaan hutan secara ideal. Oleh sebab itu, sudah waktunya bagi pemerintah agar lebih peka terhadap keberadaan mereka.

“Di tingkat gerakan sipil pun penting terus dijaga dan disuarakan. Karena sudah menjadi tugas bersama untuk kita ikut ambil andil dalam pelestarian hutan adat, terutama karena potensinya yang begitu besar dalam pengurangan emisi karbon dan mencegah perubahan iklim,” ujar Rianda.

Leave a Comment