Sehari Menjadi Masyarakat Adat Simardangiang

Erupsi.com, Tapanuli Utara – Udara dingin mengiringi langkah Bahari Nainggolan (30 tahun) menerobos kabut tebal Luat Pahae. Empat lelaki menunggunya di pelataran gereja Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, Selasa (29/11/2022).

Pagi itu, Bahari akan pergi ke tombak—sebutan untuk hamparan kebun atau lahan kemenyan Sumatra (Styrax benzoin) yang dikelola turun-temurun. Di lahan wanatani (agroforestry) ini, getah kemenyan disebut haminjon.

Selama ini, kemenyan umumnya digunakan untuk campuran rokok, ritual keagamaan umat Katolik, Budha, Konghucu maupun dupa untuk kaum Kejawen. Di luar negeri, ia diolah menjadi bahan parfum, obat-obatan dan kosmetik.

Musim hujan di akhir tahun seperti ini merupakan jadwal bagi petani untuk mangaluak (memanen) getah sidukkapi—golongan getah kemenyan terbaik yang telah mengeras hasil mangguris (menyadap) batang 4-6 bulan sebelumnya.

Getah sidukkapi hanya dipanen sekali dalam setahun. Panen pertama ini disebut takasan. Selanjutnya ada rassaran, yakni getah susulan setelah sidukkapi. Panen kedua ini disebut lecet.

Adapun getah ketiga disebut tahir, yaitu getah bercampur kulit batang pohon sisa-sisa panen sebelumnya. Jika sidukkapi dipanen pada musim hujan dan rassaran pada masa pancaroba, maka tahir dipanen saat musim kemarau tiba.

Sebelum memanen kemenyan, Bahari harus melapor terlebih dulu ke pengurus Parpatihan—lembaga adat desa yang mengurus administrasi kemenyan. Merekalah yang menunggu Bahari di pelataran gereja pagi itu.

“Peraturannya, setiap warga yang ingin pergi ke tombak wajib melapor dulu supaya dicatat,” kata Bahari, Minggu (4/12/2022).

Tentang Parpatihan

Parpatihan mengemban tugas penting dalam komunitas masyarakat adat Desa Simardangiang. Ketua dan anggotanya dipilih secara periodik oleh sesepuh kampung atau huta, penamaan desa oleh Bangso Batak pada era pra kolonial.

Untuk menjadi pengurus, warga mesti memenuhi sejumlah kriteria, seperti bermoral tinggi dan berperilaku bijak. Syarat itu harus dipenuhi karena tugas Parpatihan tidak sebatas mengurusi persoalan administrasi, melainkan juga persoalan sosial.

Mereka harus menengahi sengketa batas tombak, hingga menyelesaikan perkara pencurian. Artinya, masalah tertentu yang terjadi di desa tidak langsung diseret ke jalur hukum negara melainkan diselesaikan mengikuti hukum adat.

Parpatihan bahkan berperan seperti Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) jika ada warga yang hilang saat memanen getah kemenyan di hutan. Sebagai bentuk imbalan jasa, petani menyetor 2% dari hasil penjualan kemenyan ke mereka.

Tugas-tugas Parpatihan yang begitu kompleks menempatkan posisi para pengurusnya terhormat di mata masyarakat adat. Walau demikian, ada pula yang bercanda dan iseng menjuluki mereka sebagai “badan intelijen kemenyan” karena tugasnya tersebut.

Menurut catatan Parpatihan, pertanian kemenyan Simardangiang menghasilkan perputaran uang Rp1 miliar per tahun. Perputaran ini relatif stabil setelah sempat anjlok pada 2021 lalu akibat pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19).

Berburu Kemenyan di Tombak

Setelah melapor ke Parpatihan, Bahari bergegas menuju tombak yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari desa. Pagi itu, dia pergi bersama empat teman sekampung. Mereka harus mendaki dan menuruni hutan berbukit-bukit selama lebih dari 2 jam untuk mencapainya.

Suara ragam jenis satwa menemani perjalanan Bahari dan kawan-kawan. Mulai dari jangkrik, burung hingga kera terdengar bersahutan-sahutan di antara vegetasi yang lebat dan menjulang tinggi. Sesampainya di tombak, Bahari langsung merogoh tas sandang yang terbuat dari anyaman rotan, namanya bakul.

Dia lalu mengeluarkan seutas tali serat yang disebut polang dan alat-alat khusus untuk menyadap dan memanen getah kemenyan, yaitu tuhil atau agat (pisau kecil pencongkel getah kemenyan), guris (alat menyadap) dan panuktuk (besi lonjong berujung runcing).

Sebelum memanjat, Bahari menjalankan ritual yang telah diterapkan masyarakat adat Simardangiang sejak zaman nenek moyang mereka. Dia menepuk-nepuk batang pohon sembari melantunkan mantra atau doa.

Ritual tersebut telah diajarkan secara turun-turun oleh keluarga para pemanen getah kemenyan. Konon, cara itu mampu membangun ikatan emosional antara petani dan pohon.

“Kami percaya kalau cara ini akan membuat pohon mengeluarkan getah kemenyan yang banyak. Jadi hasil panen melimpah,” kata Bahari, sebelum kemudian cekatan memanjat batang tubuh pohon kemenyan.

Beberapa menit kemudian prosedur mangguris dimulai. Di sela-sela itu, Bahari tiba-tiba berteriak, “Parung!”.

“Parung!” sahut Hendra Sitompul (37 tahun) yang juga tengah manige (bertani kemenyan) di tombak sebelah. Parung bermakna harapan atau permintaan agar getah kemenyan penuh.

“Kalau sedang mangguris, ada yang bilang ‘parung’, maka yang lain juga menyahut dan berteriak ‘parung’,” kata Hendra.

Kemenyan Simardangiang
Getah kemenyan yang diproduksi warga Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara / Erupsi

Tradisi Lokal Adat Simardangiang

Mereka juga merawat tradisi lain seperti marhontas, yaitu kejutan istri terhadap suami yang bermalam di tombak. Saat sedang manige, sang istri datang membawa itak gurgur—makanan tradisional dari beras, kelapa, gula aren—dan daging babi.

“Dari leluhur kami melakukan tradisi ini yang dipercaya bisa membuat pohon kemenyan mengeluarkan banyak getah,” kata Hendra.

Selain marhontas, ada pula tradisi sangkehudali, yakni menggantungkan cangkul yang bermakna berhenti bekerja sehari penuh untuk fokus beribadah, dan gotilon, yakni pesta adat yang biasa dilakukan setelah masa panen tuntas.

Tradisi lainnya adalah marsiadapari, yakni gotong royong, baik ketika bertani padi maupun kemenyan. Marsiadapari dilakukan per kelompok untuk mengelola hasil hutan bersama. Hasilnya lantas dibagi secara proporsional.

Sayangnya, marsiadapari sudah jarang dipraktikkan. Tidak seperti dulu, semangat petani kemenyan di masyarakat adat Simardangiang mulai kendor.

“Karena sekarang haminjon sudah sedikit, harganya murah pula,” kata Bahari.

Pada sore hari, Bahari dan teman-temannya langsung beranjak pulang ke desa dan melapor ke Parpatihan. Hasil kemenyan hari itu memang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan zaman orang tua mereka.

Kini, harga jual kemenyan cenderung turun dan ikut menekan produktivitas kemenyan karena petani mengalami demotivasi. Tak sedikit pemuda Desa Simardangiang memilih merantau, atau mencari sumber penghasilan baru karena malas merawat kemenyan.

“Menyadap kemenyan ini prosesnya rumit, tapi mau bagaimana lagi. Kita capek tapi harga tidak sesuai,” kata Bahari.

Kelebihan Suplai

Pemicu penurunan harga tersebut salah satunya adalah suplai berlebih di pasar dalam satu dekade terakhir.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2010, luas tanaman kemenyan di provinsi Sumatera Utara hanya 22.916,85 hektare (ha) dengan produksi 4.730,4 ton.

Per 2020, total luas lahan kemenyan tersebut naik menjadi 23.146 ha dengan produksi melonjak dua kali lipat menjadi 8.604 ton.

Kabupaten Tapanuli Utara jadi penyumbang utama, sebesar 70,3% atau 16.223 ha pada 2020, dengan produksi 4.073 ton. Selain Tapanuli Utara, kemenyan juga banyak tumbuh di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba, Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Dairi.

Produksi di lima kabupaten itu stabil tatkala permintaan disinyalir drop sejak pandemi Covid-19. Di tengah situasi demikian, daya saing kemenyan asal Desa Simardangiang menurun.

Masa Jaya dan Runtuh Kemenyan Tapanuli

Menurut Kepala Desa Simardangiang Tampan Sitompul, orang tua mereka dulu sanggup menghasilkan 200 kilogram (kg) kemenyan kelas satu (sidukkapi) dalam setahun. Namun kini petani paling hanya memproduksi sidukkapi sebanyak 70 kg per tahun.

“Itu pun sudah termasuk jago bisa 70 kilogram setahun. Saya sendiri sudah dari 20 tahun lalu tidak lagi mengelola haminjon di tombak saya,” kata Tampan.

Warga Simardangiang
Luas (30), warga Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara / Erupsi

Akibatnya, penghasilan mereka pun turun. Mayoritas warga Desa Simardangiang kini merasakan hasil penjualan kemenyan hanya bisa menutup kebutuhan makan sehari-hari. Mereka mulai kesulitan menyekolahkan anak ke jenjang menengah.

“Bagaimana lah ya, karena harganya ini turun kami pun susah menyekolahkan anak. Paling kuat cuma bisa sampai SMP dan SMA,” ujar Elsi Rohani boru Sitompul (47 tahun), warga Desa Simardangiang.

Menurut laporan majalah Imanuel terbitan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) edisi 24 Oktober 1920, hasil produksi kemenyan Tano Batak pada 1919 telah mencapai 1,8 ton atau senilai 1,5 juta gulden.

Dari catatan Esther Katz dalam Pengolahan Kemenyan di Dataran Tinggi Batak (2001), produksi kemenyan Tapanuli diketahui pernah tembus 5.000 ton/tahun pada 1993-1998. Sebagai perbandingan, produksi kemenyan Laos dan Vietnam masing-masing hanya 50 ton/tahun.

Tangan Kotor Tengkulak

Di luar faktor pasar dan kualitas panen, terdapat pola pembentukan harga jual juga cenderung merugikan petani. Harga kemenyan ditentukan oleh penampung (tauke) secara sepihak dengan hanya melihat bentuk atau rupa kemenyan dari sudut pandang mereka.

Tak ada indikator yang jelas untuk menentukan harga. Penilaian atas produk petani tergantung selera tauke, yang jumlahnya beberapa orang (sehingga posisi tawarnya kuat).

Bagai tengkulak, mereka memanfaatkan lemahnya posisi petani untuk mengatur harga. Hanya ada empat tauke yang biasanya datang ke pekan penjualan kemenyan setiap Jumat di samping pelataran gereja Desa Simardangiang.

Para tauke itu berasal dari dalam dan luar Kabupaten Tapanuli Utara. Mereka menghargai kemenyan kategori sidukkapi di Rp200.000-Rp300.000/kg, turun dari harga beberapa tahun lalu di Rp250.000-Rp350.000/kg. Sementara itu, kategori rassaran dihargai Rp100.000-Rp150.000/kg dan tahir seharga Rp50.000-Rp100.000/kg.

“Yang lebih sakit, sudah lah harganya semakin murah, kami dikenakan potongan 10% lagi oleh tauke. Tidak tahu kami untuk apa, kalau alasan mereka katanya kemenyan kami belum bersih,” ujar petani lainnya, Martimbun Sihombing (51 tahun).

Jaringan Terbatas

Di Desa Simardangiang, ada tiga pengepul kemenyan lokal. Biasanya, tauke mendatangi rumah mereka untuk membeli kemenyan, selain membeli langsung dari petani. Satu di antaranya adalah Rafolo Ritonga.

Menurut Rafolo, para pengepul beberapa kali dibohongi oleh oknum tauke kemenyan yang membeli kemenyan dengan harga sangat rendah tapi ternyata menarik selisih keuntungan besar. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak.

Ada pula yang tega membeli kemenyan petani dengan harga murah karena alasan kualitas rendah. Padahal, oknum tauke tersebut kemudian menggolongkannya sebagai kemenyan kualitas tinggi ketika menjualnya ke penampung besar.

“Kami tidak punya jaringan untuk memasarkan kemenyan ini langsung ke eksportir atau pengusaha besar. Jadi kami pasrah saja ke tauke yang datang,” kata Rafolo.

Meski kemenyan adalah tanaman endemik (asli Sumatra), pusat perdagangan kemenyan dunia berada di Singapura.

Dari sana, kemenyan didistribusikan ke berbagai negara seperti China, India, Timur Tengah, hingga Eropa. Kendati demikian, pasar domestik menguasai konsumsi kemenyan sebanyak 75%. Sisanya lah yang dikirim ke Singapura.

Kemenyan
Kemenyan yang diproduksi warga Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara / Erupsi

Perdagangan Oligopoli

Menanggapi perkembangan tersebut, Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah I Ridho Pamungkas menilai pasar perdagangan kemenyan cenderung oligopoli. KPPU memiliki kewenangan untuk mengusut dan memberikan sanksi atas pelaku kartel.

“Di mana potensi adanya kartel sangat besar dengan ciri-ciri komoditas yang dijual homogen, tidak mudah pemain baru masuk sebagai tauke karena biasanya diikat dengan pinjaman dan lainnya, informasi harga pasar tidak transparan,” ujarnya.

Untuk mengatasi praktik tersebut, dia mendorong pemerintah setempat membentuk kelompok tani, atau mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai penyeimbang harga.

“Kemudian dengan perbaikan infrastruktur untuk menaikkan daya saing dan pemanfaatan teknologi digital untuk mengakses harga dan pasar,” kata Ridho.

Simardangiang berasal dari kata Mardang dan Iang. ‘Mardang’ berarti berjalan bebas, sedangkan ‘Iang’ artinya ikhlas memberi. Kemenyan mempengaruhi hidup mayoritas warga desa adat Simardangiang, dan juga kehidupan satwa Sumatra.

Konon, leluhur warga Simardangiang mampu menerobos hutan belantara dan muncul di kawasan Pantai Barat Sumatera—sekitar Sibolga—untuk menukarkan kemenyan dengan garam dan ikan. Jaraknya sekitar 30 kilometer, menembus hutan pekat.

Jika ingin mencapai desa ini dari Tarutung, butuh waktu sekitar 1,5 jam. Di sepanjang perjalanan, udara sejuk, pepohonan tinggi serta persawahan memanjakan mata. Sayang, keindahan panorama dan bentang alam tersebut tidak selaras dengan akses jalan yang buruk.

Padahal, begitu banyak tanjakan dan turunan curam yang bisa membahayakan pengendara. Setelah melewati jalan berliku, pendatang akan disambut gereja dan permukiman penduduk semi permanen. Desa ini berada di kawasan lembah sehingga susunan antar-rumah terlihat bertingkat-tingkat.

Asal-usul Desa Adat Simardangiang

Warga adat Simardangiang didominasi oleh marga Sitompul. Porsinya mencapai 40% dari total 728 orang warga, di 193 keluarga. Selebihnya ada marga Sihombing, Nainggolan, Tambunan, Ritonga, Simanungkalit, dll.

Marga Sitompul di desa ini adalah sipungka huta (pembuka kampung) yang merupakan keturunan Raja Tinaruan pada awal abad 16. Mereka bermigrasi dari Tarutung ke Lobu Tolong, yang jadi tuan rumah bagi kuburan kuno dan sisa rumah adat asli Bangso Batak.

Melihat tanda-tanda peninggalan dan corak permukiman, desa adat Simardangiang diperkirakan sudah ada sejak 200 tahun lalu, meskipun pendahulunya sempat berpindah-pindah dan permukiman pernah terbakar.

Pada era kolonial hingga masa awal kemerdekaan, administrasi Desa Simardangiang dan lima desa lainnya digabungkan dalam Kanagarian Sigompulon. Kini desa ini terdiri atas tiga dusun, yakni Dusun Simardangiang, Dusun Sibiobio dan Dusun Lumbang Gotting.

Ironisnya, sampai sekarang desa tersebut masih tertinggal dari sisi pendidikan dengan hanya memiliki Sekolah Dasar (SD). Jika hendak melanjutkan pendidikan tingkat menengah, warga harus berjalan kaki atau menggunakan kendaraan pribadi ke luar desa. Sebab, belum ada transportasi umum di tempat ini.

Ancaman Hutan Adat Simardangiang

Mengunjungi kebun kemenyan (tombak) di Desa Simardangiang, sama artinya menembus hutan hujan tropis, yang terletak 1.000 meter di atas permukaan laut, tetapi telah dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Di hutan penuh satwa liar tersebut, terdapat banyak Multi Purpose Tree Species (MPTS) seperti pohon petai, durian, jengkol, dan tentunya Boswellia, yaitu pohon penghasil getah resin kemenyan.

Pohon-pohon ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber oksigen, tutupan hutan, dan penampung air, melainkan juga memberi manfaat ekonomi bagi warga Simardangiang.

Ia menjadi lahan agroforestry ideal karena keseimbangan ekosistem tak terganggu. Keberadaan hutan itulah yang membuat desa adat Simardangiang kaya akan air bersih.

Setiap rumah dialiri selang 24 jam nonstop secara gratis. Di ujung jalan desa, ada pemandian umum yang memancarkan air bersih tanpa henti. Udaranya sejuk dan segar.

Namun, keseimbangan ekosistem itu berisiko hilang seiring makin pudarnya wangi kemenyan. Anjloknya harga kemenyan yang memicu turunnya produktivitas berpeluang memicu peralihan tanam ke komoditas perkebunan lain yang cenderung merusak hutan.

Sejarah Kelam

Situasi serupa pernah menimpa petani kemenyan di Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Kabupaten Tapanuli Utara.

Masyarakat adat di sana sudah meninggalkan pertanian kemenyan secara total sejak 2002 silam. Alasannya, harga kemenyan diobral hingga jatuh.

Padahal, proses produksinya melelahkan dan memakan waktu lama. Saat ini, masih tersisa 500 hektare kebun kemenyan di tempat itu. Namun, kondisinya sudah tidak terawat dan dibiarkan terlantar.

Selain harga, faktor alam juga mempengaruhi minat masyarakat adat Hopong untuk mengelola kemenyan. Sebab, jenis pohon yang tumbuh di tempat itu memerlukan waktu lebih lama untuk menghasilkan getah layak panen.

Akibatnya, petani beralih ke pertanian nilam yang pada 2002 harganya lebih tinggi. Tak lama berselang, harga nilam ikut anjlok pada 2008. Sejak saat itulah mereka berpaling ke pertanian pisang berskala besar. Area hutan pun berubah menjadi kebun pisang.

Di Desa Simardangiang, gonjang-ganjing harga jual kemenyan telah memukul kehidupan warga adat. Banyak di antaranya yang kesulitan melanjutkan pendidikan menengah, dan bahkan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan makanan yang layak.

Tak sedikit anak-anak Desa Simardangiang yang juga berfisik kurus. Mereka memiliki pipi cekung dengan sorot mata sayu, mengindikasikan kondisi tubuh yang kurang gizi. Beberapa anak lainnya, termasuk bayi, mengidap penyakit kulit yang akut.

Di Desa Pantis, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, persoalan harga juga menyebabkan persoalan. Awalnya, nyaris seluruh penduduk desa berprofesi sebagai petani kemenyan. Namun belakangan, jumlahnya berkurang hingga menjadi 60%.

Ketergantungan masyarakat adat terhadap pihak luar dalam menentukan harga memicu kerentanan ekonomi mereka. Pada akhirnya, alih fungsi lahan wanatani pun terjadi, yang memicu kerusakan tutupan hutan.

Habitat Satwa Terancam Punah

Apalagi, hutan Hopong, Pantis dan Simardangiang merupakan habitat penting bagi satwa-satwa yang terancam punah. Misalnya, orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) dan berbagai jenis satwa lainnya.

Menurut Founder Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Center (YOSL-OIC) Panut Hadisiswoyo, Dusun Hopong dan Desa Pantis terletak di kawasan Batang Toru Blok Timur. Sementara itu, Desa Simardangiang di Batang Toru Blok Barat.

Kedua blok hutan tersebut diketahui merupakan habitat orang utan Tapanuli yang jumlahnya diperkirakan hanya 760 ekor. Spesies ini masuk daftar merah dengan status Critically Endangered menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN).

“Artinya, hutan-hutan di sekitar desa itu memiliki peran penting untuk populasi orang utan Tapanuli. Sehingga diperlukan perhatian agar tutupan hutan di sana tetap terjaga,” kata Panut.

Selama ini, tutupan hutan di Lembah Pahae tetap terjaga berkat pengelolaan wanatani yang diterapkan oleh masyarakat adat. Mereka memanfaatkan hutan dengan tetap menjaga keanekaragaman hayati, sehingga berdampak minimal terhadap lingkungan.

Dalam tradisi lokal, masyarakat adat mengenal istilah larangan yang disebut harangan. Mereka dilarang mengganggu dan memasuki kawasan hutan karena keyakinan tertentu. Secara tidak langsung, kearifan lokal tersebut membantu menjaga kelestarian hutan.

Peradaban Simardangiang

Berdasarkan hasil penelitian Saurlin Siagian yang dituangkan dalam buku berjudul Tombak Na Marpatik (2022), peradaban di Desa Simardangiang, Desa Pantis dan Dusun Hopong sudah ada sejak 200-300 tahun lalu. Sebelum bermigrasi ke lokasi saat ini, tempat asal nenek moyang mereka disebut Lobu.

Sistem pengelolaan masyarakat adat terbukti ampuh menjaga kawasan tutupan hutan.

“Tidak diragukan lagi kemampuan masyarakat adat dalam memelihara hutan dan tutupannya,” tulis Saurlin.

Lebih jauh, Saurlin menulis bahwa terdapat relasi yang kuat antara peradaban Bangso Batak, hutan dan kemenyan. Referensi yang diperolehnya membuktikan hubungan itu sudah terjadi sejak ribuan tahun.

“Dari praktik-praktik itu, maka relasi masyarakat Batak sekitar hutan dengan lingkungan hutan tidak sekadar relasi ekonomi, tetapi sudah menjadi bagian peradaban Batak itu sendiri,” tulis Saurlin.

Melihat vitalnya peran tersebut, Direktur Eksekutif Green Justice Indonesia Dana Prima Tarigan menekankan pentingnya pengakuan negara terhadap masyarakat dengan kearifan lokalnya dalam mengelola hutan adat.

Tujuannya bukan hanya untuk memperbaiki hubungan antara negara dan masyarakat adat, tetapi juga melindungi kearifan lokal dalam melestarikan hutan. Dana menilai masyarakat adat punya tradisi unik mengelola kehidupan dan menjaga alam sekitarnya.

“Hal ini menjadikan hutan yang dikelola oleh masyarakat adat lebih unggul dalam konteks menjaga lingkungan dan menjadi solusi berbasis alam dalam menghadapi tantangan krisis iklim,” kata Dana.

Hak Masyarakat Adat Terancam

Kini, masyarakat adat di Lembah Pahae Kabupaten Tapanuli Utara tak hanya menghadapi problem harga kemenyan yang turun. Hak mereka juga terancam oleh klaim negara atas lahan yang sudah mereka kelola secara turun-temurun sejak ratusan tahun.

Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan putusan atas perkara Nomor 35/PUU-X/2012 bahwa hutan adat tak lagi tergolong hutan negara.

“Memasuki 1 dasawarsa sejak putusan MK itu, pengakuan wilayah adat justru kalah bersaing dengan semakin masifnya perampasan wilayah dan ruang hidup masyarakat adat,” kata Dana.

Dilema demikian dirasakan Kepala Desa Simardangiang Tampan Sitompul. Dia sempat terkejut dan tak menyangka petugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) datang ke desa pada 2021 lalu untuk mematok penanda.

Ternyata, pemerintah menetapkan kawasan hutan adat mereka, termasuk tombak, sebagai hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 579/Menhut-II/2014. Tampan tidak tahu persis luas wilayah adat mereka yang kini berubah menjadi hutan negara.

“Nenek moyang kami sudah tinggal di sekitar sini sejak ratusan tahun lalu. Sebelum negara ini merdeka, kami sudah bertani kemenyan,” ujarnya.

Meski berubah status, masyarakat adat saat ini masih tetap bisa mengelola tombak di hutan lindung tersebut. Namun, mereka khawatir situasi akan berubah. Penetapan ini layaknya bom waktu yang bisa memicu konflik tenurial di kemudian hari.

“KLHK selalu seperti itu, peraturan kerap berubah, dan tidak pernah sosialisasi dan melibatkan masyarakat. Ini berpotensi jadi konflik vertikal antara masyarakat adat dan negara,” kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Roganda Simanjuntak.

Simardangiang
Warga memilah kemenyan di Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara / Erupsi

Sikap Pemerintah Daerah

Pembelaan datang dari Bupati Tapanuli Utara Nikson Nababan yang secara resmi mengakui keberadaan hak masyarakat adat. Pada 2021, Pemkab Tapanuli Utara menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Sejauh ini, sudah ada tiga masyarakat adat di Kabupaten Tapanuli Utara yang mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. Desa Simardangiang, Desa Pantis dan Dusun Hopong menyusul dan kini sedang diproses.

Selain itu, Nikson mempelajari formula yang memungkinkan pemerintah daerah menetapkan legitimasi terhadap hak masyarakat adat tanpa menunggu persetujuan KLHK.

“Sikap kami jelas, kami ingin semua masyarakat adat di Tapanuli Utara diakui dan dilindungi,” kata Nikson.

Urgensi Pendidikan

Di sisi lain, dia meminta bantuan pemerintah pusat untuk meningkatkan pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara. Menurutnya, keterbatasan pendidikan tinggi di daerah tersebut turut mempengaruhi kemampuan masyarakat menghadapi aspek bisnis dan perdagangan.

“Untuk menghapus kemiskinan di Bangsa Batak, Tapanuli, kuncinya pendidikan. Kita minta negara membangun universitas umum di Tapanuli Raya,” katanya.

Hingga laporan ini diunggah, Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar belum membalas pertanyaan yang diajukan melalui pesan digital, mengenai perlindungan hutan adat di Sumatra.

1 thought on “Sehari Menjadi Masyarakat Adat Simardangiang”

  1. terimakasih sudah mengenalkan kampung leluhur saya,,saya sangat bangga bahwa kearifan adat istiadat di desa luluhur kami masih terjaga dengan baik,semoga dengan artikel ini bisa membuka mata hati dan perhatian pemerintah setempat,,
    #save simardangiang
    #pemkab taput

    Reply

Leave a Comment